JEDDAH- Fenomena haji 'sandal jepit' atau calon jamaah haji non kuota tidak hanya terjadi di Indonesia. Tapi juga terjadi di banyak negara. Lalu apakah orang yang mengikuti haji non-kuota ini resmi atau ilegal? Sejauh ini, hanya kata resmi yang ilegal adalah kata yang tepat untuk memosisikan haji non-kuota ini.
Setidaknya kesimpulan itu didapati okezone setelah mewawancarai Ketua Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH), Syairozi Dimyati dan Kepala Daerah Kerja Jeddah, Ahmad Abdullah dalam kesempatan berbeda.
Follow Berita Okezone di Google News
“Ya gimana yah. Mereka tidak mengikuti jalur resmi yang ditetapkan Pemerintah Indonesia. Tapi, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi memberikan visa haji kepada mereka,” jawab Ahmad Abdullah.
Pemerintah Arab Saudi melalui OKI (Organisasi Kerja Sama Islam, dulu Organisasi Konferensi Islam) memberikan kuota kepada masing-masing negara yang hendak mengirimkan warganya untuk melaksanakan ibadah haji. Pada 2011, Indonesia awalnya mendapatkan kuota 211 ribu orang, kemudian atas upaya Kementerian Agama, kuota pun bertambah menjadi 221 ribu orang, yang dibagi untuk regular 201 ribu dan untuk khusus 20 ribu.
Namun masih ada saja warga negara yang berangkat haji tidak melalui kedua jalur resmi yang ditetapkan Kementerian Agama. Diselenggarakan pihak-pihak agen perjalanan yang tidak terdaftar di Kementerian Agama.
Syairozi mengatakan, Muassasah (panitia penyelenggara haji yang ditunjuk Kerajaan Arab Saudi) menyebut jamaah haji 'sandal jepit' ini adalah Furodah atau jamaah haji di luar sistem (kuota). Sebagai pemerintah yang melayani semua tamu-tamu Allah, Kerajaa Arab Saudi menganggap mereka adalah jamaah haji yang legal atau resmi.
Karenanya, pihak Muassasah selalu menyediakan maktab untuk para Haji Furodah ini saat di Arafah dan Mina. Setiap ditanya, Muassasah selalu beranggapan bahwa sudah kewajiban mereka untuk menerima jamaah haji yang sudah masuk Arab Saudi, walaupun tidak berdasarkan kuota.
Haji Furodah ini awalnya adalah warga negara Asing yang berada di suatu negara, kemudian dia ingin melakukan haji dan meminta visa ke Kedutaan Arab Saudi di negara tersebut, kemudian diberikan. Nah, berangkatlah orang tersebut ke Arab Saudi tanpa melalui kuota yang ditetapkan kepada negara asal orang tersebut.
Misalnya, warga negara Indonesia tinggai di Amerika Serikat. Dia ingin berhaji, kemudian meminta visa haji kepada Kedutaan Arab Saudi di Washington, Amerika Serikat dan diberikan visa, dia pun berangkat tanpa kuota yang ditetapkan Kerajaan Arab Saudi kepada Indonesia. Hanya saja untuk Indonesia kini hal tersebut sudah tidak diperbolehkan lagi, semuanya harus melalui Jakarta.
Tapi dalam perjalanannya banyak agen perjalanan yang berbuat nakal. Agen perjalanan ini biasanya tidak terdaftar atau tidak mendapatkan kuota dari Kementerian Agama.
Dengan pengalaman dan mengandalkan koneksi yang dimiliki di Arab Saudi, bisa berupa mukimin atau orang Indonesia yang telah lama tinggal di Arab Saudi atau orang Arab Saudi sendiri, mereka meminta dipesankan hotel di Madinah dan Makkah untuk jamaah yang akan mereka bawa. Begitu juga dengan kateringnya.
Hanya saja yang menjadi korbannya lagi-lagi adalah calon jamaah haji Indonesia. Pelajaran tahun lalu, jamaah Indonesia yang mengikuti non kuota ini terlantar karena tidak mendapatkan tenda di Arafah, begitu juga makanan. Tenda yang disiapkan Muassasah tidak mencukupi, mereka kemudian disusupkan di Maktab 17 yang sudah berisi jamaah regular Indonesia. Karena Kementerian Agama sudah memiliki kewajiban dengan jamaah regular, akhirnya penempatan muassasah tersebut diprotes dan jamaah non kuota pun dikeluarkan dari Maktab tersebut.
Belum lagi potensi tersasar, karena jamaah non kuota ini tidak memiliki indentitas seperti gelang yang menunjukkan kloter dan embarkasi mana, petugas PPIH yang menemukan menjadi kesulitan mengembalikan jamaah ini ke pemondokan yang ditempatinya. Karena tidak terdapat dalam daftar petugas.
Lalu mengapa mereka mau ikut jamaah haji non-kuota? Biasanya mereka tidak mengetahui bahwa mereka ikut jamaah haji non-kuota. Seperti salah satu jamaah non kuota dari Ipah Grup, dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yaitu Sabani (51). Warga Barabay ini dengan percaya diri mengaku jamaah haji plus. “Saya dari jamaah haji plus, mau lihat-lihat jamaah haji regular,” ujar Sabani yang ditemui okezone di Plasa Terminal Timur, Bandara KAA, Jeddah.
Agen perjalanan ini juga memanfaatkan antrean panjang yang terjadi untuk berangkat haji. Untuk regular saja, mulai tahun ini harus antre selama tujuh tahun sejak mendaftar (tergantung daerah), sedangkan untuk haji khusus satu atau dua tahun. Untuk haji non kuota tidak perlu antre, jika punya uang Rp60 juta sudah bisa langsung berangkat.
Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH), sebagai organisasi resmi yang dibentuk Kementerian Agama juga tidak dapat berbuat banyak menghadapi jamaah haji sandal jepit ini. PPIH hanya bisa melaporkan hal ini ke Muassasah dan juga Menteri Agama, bahwa terdapat warga negara Indonesia yang ikut haji non kuota.
Syairozi Dimyati hanya bisa mengimbau, kepada warga negara Indonesia untuk mengikuti jalur resmi yang sudah ditetapkan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama, yaitu haji regular dan haji khusus.
“Jangan mudah terpengaruh oknum-okhum yang tidak bertanggung jawab, yang biasa meminta biaya berangkat haji di luar ketentuan,” imbaunya. Hal ini demi kebaikan dan keselamatan jamaah haji itu sendiri.
(ton)